Hening..... Setelah perjalanan melelahkan itu, ia bersandar menggenggam cermin kecil yang sudah terbelah dua di hadapannya, kemudian berdiri menghampiri cermin yang lebih besar yang merekat kuat di lemari kamarnya. Terjadi perbincangan sederhana saat itu.
Remi 2 : Kau cantik, perawakanmu semampai, rambutmu tergerai panjang, hitam nan lebat. Hey, matamu coklat terang, bulat, dan tajam, hidungmu mancung menggemaskan. Dan aku suka warna kulitmu! Hitam cerah dan......manis.....
Remi 1 : Jangan kau puji berlebihan! Kau tak tahu persis apa yang ada di dalamnya. Kau jelas tak membaca pikirannya, kau tak mendengar cerita kelamnya, kau tak melihat masa lalu yang berdiri tegap di belakang tubuhnya yang semampai itu, kau tak sanggup menerawang hati seperti apa di balik keistimewaan yang tampak jelas itu.
Remi 2 : Hey, aku memujimu, bisakah kau bilang, setidaknya, kata ‘terimakasih’?
Remi 1 : Terimakasih, Tuhanku. Sesungguhnya aku bicara padanya, bukan engkau, ya diriku. Maafkan aku.
Remi 2 : Apa gerangan yang ada di otak yang tersimpan di bawah rambut indahmu itu? Apa gerangan yang kausembunyikan di hati yang hanya kau dan Tuhan yang tahu persis tentang itu? Aku ingin menguak seluruh misteri di balik penampilanmu yang sempurna, bisakah?
Remi 1 : Jangan banyak bicara tentang dirimu sendiri! Kau tahu siapa dirimu! Kau kenal siapa dirimu! Sungguh bodoh kau bertanya tentang dirimu sendiri di bayang cermin ini. Kau sudah menyingkap seluruh misteri itu. Sadarlah!
Sejenak ia membungkuk dan mengambil satu belah pecahan cermin kecil yang tergeletak di lantai kamarnya, dan mengambil sebuah buku diari hitam ber-hard cover dengan tangan lainnya. “Praaaaaaaaaaaang!”, cermin yang mulanya merekat kuat di lemarinya kini terpecah-pecah tergeletak di lantai kamar berwarna hitam pekat itu.
Remi 1 : Pergilah, Kau! Aku tersiksa dengan semua ketidaksadaranmu akan dirimu sendiri. Siapa gerangan diriku sebenarnya, ketika dirimu muncul dan menguasai seluruh kendali diriku sendiri? Aaaaaaargh aku benci sisi lain dari diriku. Aku ingin pergi, aku ingin tak ada lagi kepribadian apapun dalam tubuh yang serba lemah ini, yang tak mampu lagi menanggung kesengsaraan isak tangis pertanyaan bodoh dari sisi lainku. Pergilah, aku lelah mengalah untuk kecenderunganmu menguasai hati, pikiran, dan tubuh yang sering terkulai tanpa perlawanan apapun.
“Brak,” terjatuhlah ia tepat tengah malam setelah perjalanan yang membuat tubuhnya sama sekali tak berdaya itu. Tanpa napas, tanpa denyut di setiap nadinya, tanpa detak yang menandakan jantung memompa darahnya, dan dengan tetes-tetes darah yang mulai mengering di sekitarnya. Ibundanya (yang juga psikolog pribadinya) baru menyadari suara-suara keras itu datang dari kamar putri kecilnya yang kini tengah menjalani masa remajanya. Sesaat kemudian, ibunya sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya, terpaku, melihat kondisi kamar yang tak sudah karuan lagi posisi barang- barangnya. Beliau tahu persis inilah waktunya sang putri harus pergi meninggalkan kehidupan dunia yang telah menyiksanya selama ini. Dengan lembut, sang ibu mengambil diari hitam yang tergeletak bersama serpihan pecahan-pecahan kaca, membaca halaman pertamanya dengan sedikit berbisik dengan tangis yang terkendali.
Ibu : “Aku seorang gadis kecil, 17, tahun ini, baru akan. Selama hidupku, aku merasa hidup bersama seseorang lain yang terperangkap dalam diriku. Ia menguasaiku hampir setiap waktu. Tersiksa. Setiap waktu ia bertanya tentang hidupku, tentang diriku, tentang sesuatu yang ada di dalam diriku. Aku tahu sebenarnya dia tahu. Tapi ketertutupan diriku membelenggunya dalam bohongnya pertanyaan bodoh itu. Masa lalu yang traumatik itu menjadi tameng atas segalanya, membelah jiwaku menjadi tak rapi, dua. Pernahkah kamu merasakannya? Jiwa yang mungil mesti terbagi dan tumbuh menjadi kehidupan baru yang menyiksa setiap detik dalam hari-harimu; yang harus kauladeni, atau ia saat itu juga akan merasuk dan mengambil alih kendali dirimu. Ibu bilang, ia juga diriku. Lebih tepatnya, bagian lain dalam diriku. Hmmm sulit mengatakannya, bahwa sebenarnya inilah diriku. Dua dalam satu, kepribadian ganda. Seandainya ia ingin tetap hidup selamanya, kan kuberi raga yang sakit ini seutuhnya padanya. Aku lebih memilih menjadi jiwa kosong tanpa raga yang memuatnya demi sebuah ketenangan. Pergilah, atau tinggallah selamanya di sini. Kuasai aku, dan bunuhlah aku sesuai kehendakmu. Tuhan bersamaku, kan Ia selamatkan jiwa utama yang memiliki tubuh ini untuk hidup dalam damai yang sebenarnya. Mati. Selamat jalan diriku, kan kupilih waktu yang tepat untuk melarikan diri dari keadaan duniawi yang terbatas ini. Selamat jalan. Damailah. -GalĂ̱nios Iremia, (hening, tenang)-”
No comments:
Post a Comment