Euforia seringkali menipu. Terlebih bagi saya yang masih remaja. Bisa
dibilang saya telah gagal di tempat yang pada tahun 2012 lalu saya pilih. Lebih
tepatnya mungkin bukan gagal (karena rasanya seperti menuding Tuhan
menggagalkan saya), tapi saya sendiri yang mengklaim saya akan gagal di tempat
ini sehingga kemudian saya memutuskan untuk keluar, dan pindah.
Berawal dari
ketidaktahuan dan ketidakpercayaan diri, saya memilih kuliah di jurusan
matematika karena merasa diunggulkan di bidang matematika semasa SMP dan SMA.
Mengapa tidak jurusan bahasa Inggris? Karena saya “anak” IPA dan kurang percaya
diri untuk banting stir belajar IPS. Kesimpulannya, saya cari aman saja.
Tahun 2012, saya lulus
di pilihan kedua yaitu Jurusan Pendidikan Matematika UPI lewat jalur SNMPTN
tulis. Setidaknya saya bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang
(katanya) biayanya jauh lebih murah daripada Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
“Tak apalah, terima dulu saja, masih ada tahun depan kalau masih penasaran
dengan pilihan pertama atau bahkan mau coba-coba banting stir” saya pikir.
Setahun berjalan di
sini, saya merasa cukup percaya diri mengingat status “siswa unggulan
matematika selama SMP dan SMA” dan perolehan IP di atas 3 selama dua semester
pertama. Meski kurang memuaskan bagi mayoritas teman, bagi saya itu sudah cukup
sehingga saya merasa mampu menyelesaikan kuliah matematika ini dengan IPK cukup
baik serta lulus tepat waktu. Tampaknya, memang, saya lupa obrolan dalam batin yang setahun sebelumnya terlontar
beberapa saat setelah membuka pengumuman SNMPTN tulis. Pada pertengahan
semester dua, saya bertekad untuk melanjutkan kuliah ini sampai lulus tanpa
coba-coba lagi mimpi-mimpi saya yang dulu.
Saya bukan anak yang
pandai bergaul. Saya tidak suka menyapa siapapun kalau memang tidak ada
kepentingan mendesak, apalagi menyapa orang yang tidak pernah saya kenal sama
sekali. Alhasil, pada awal semester satu saya hanya berhasil mendapati satu
teman sekelas yang bisa diajak berbincang agak panjang, Zarra Prameswari
namanya. Begitupun sebaliknya. Karena Zarra adalah anak rumahan dan saya anak
kosan, ada momen-momen tertentu yang mengharuskan saya berinteraksi dengan
teman sekelas yang anak kosan juga.
Kemudian bertemanlah saya dengan sekelompok anak kosan di kelas saya: Bintang,
Agung, Pram, Ramadhan, dan Asep. Kendala lainnya, saya juga sulit berteman
akrab dengan anak perempuan sehingga saya lebih sering nongkrong bareng anak-anak laki-laki itu.
Pertengahan semester
satu, teman nongkrong, gaya belajar,
dan kegiatan yang seru merupakan akar euforia yang terbentuk di pertengahan
semester dua. Justru karena belajar bersama mereka lah saya berhasil mendapat
IP semester satu di atas 3. Meski agak berkurang, “ritual” belajar bareng itu masih berlanjut di semester
dua.
Saya pikir, “ritual” itu
bisa terus dijalankan meski tidak intensif. Ternyata perkiraan saya meleset
jauh. Sungguh manusiawi ketika kita semua punya kesibukan masing-masing dan
kesibukan itu bisa dikatakan padat sekali. Itulah yang terjadi pada saya dan
mereka. Di akhir semester dua, semua terasa berat. Saya tidak lagi punya teman nongkrong, tidak ada lagi tempat
bertanya sepulang kuliah, juga tidak ada lagi “ritual” sebelum UTS/UAS.
Tekad saya saat semester
satu mulai goyah dan kembali ingin mengejar mimpi-mimpi yang berkali-kali saya
batalkan untuk saya raih. Tidak ada waktu lagi belajar untuk SNMPTN yang
tinggal beberapa hari lagi. Modal nekat, saya bersama beberapa teman sekelas
tetap adu peruntungan di SBMPTN 2013. Kali ini saya coba banting stir total,
hanya ikut ujian IPS. Hasilnya? Jelas tidak lulus.
Saya kembali melanjutkan
kuliah di Program Studi Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Kesibukan saya dan
teman-teman nongkrong saya semakin
padat setelah kami memutuskan untuk bersukarela menjadi pengurus BEM Himatika
‘Identika’ UPI 2013 dan selalu menjadi panitia di berbagai kegiatan himpunan.
Kuliah terasa semakin berat sehingga keinginan saya untuk pindah pun semakin
kuat. Banyak teman-teman saya yang berasal dari jurusan IPA berhasil lulus
SBMPTN 2013 di jurusan-jurusan IPS. Kelulusan mereka memacu saya untuk kembali
mencoba di tahun 2014 dan kali ini saya tidak ingin gagal lagi. Akhir 2013,
saya mulai mencoba belajar mata pelajaran IPS dan sedikit mengabaikan kuliah.
Seperti
minat saya dua tahun silam, saya ingin kuliah psikologi. Saya selalu suka
menganalisis individu dan ingin sekali menemukan teori-teori baru untuk dipakai
di bidang psikologi. Karena persaingan memilih psikologi itu sangat ketat, berdasarkan
tujuan tersebut, alternatifnya, saya memilih ilmu filsafat di pilihan kedua.
Maksud saya, kalaupun saya tidak bisa menemukan teori sebagai sarjana
psikologi, saya tetap bisa menjadi penemu teori berdasarkan ilmu pikir yang
sesuai sehingga teori yang saya temukan kelak tetap dipercaya dan digunakan di
lapangan sebagai sarjana ilmu filsafat.
Sekarang
tahun 2014, awal Agustus lalu saya melakukan registrasi ulang untuk mengesahkan
diri sebagai mahasiswa UI. Daripada saya harus kuliah matematika selama tujuh
tahun dan tidak mengerti apa-apa, lebih baik saya putuskan mengulang semuanya
dari awal di sini dan paham tentang semua yang saya pelajari. Saya akan menjadi
penemu teori. (FR)
No comments:
Post a Comment