Pages

10.8.14

Euforia

Euforia seringkali menipu. Terlebih bagi saya yang masih remaja. Bisa dibilang saya telah gagal di tempat yang pada tahun 2012 lalu saya pilih. Lebih tepatnya mungkin bukan gagal (karena rasanya seperti menuding Tuhan menggagalkan saya), tapi saya sendiri yang mengklaim saya akan gagal di tempat ini sehingga kemudian saya memutuskan untuk keluar, dan pindah.

Berawal dari ketidaktahuan dan ketidakpercayaan diri, saya memilih kuliah di jurusan matematika karena merasa diunggulkan di bidang matematika semasa SMP dan SMA. Mengapa tidak jurusan bahasa Inggris? Karena saya “anak” IPA dan kurang percaya diri untuk banting stir belajar IPS. Kesimpulannya, saya cari aman saja.

Tahun 2012, saya lulus di pilihan kedua yaitu Jurusan Pendidikan Matematika UPI lewat jalur SNMPTN tulis. Setidaknya saya bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang (katanya) biayanya jauh lebih murah daripada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). “Tak apalah, terima dulu saja, masih ada tahun depan kalau masih penasaran dengan pilihan pertama atau bahkan mau coba-coba banting stir” saya pikir.

Setahun berjalan di sini, saya merasa cukup percaya diri mengingat status “siswa unggulan matematika selama SMP dan SMA” dan perolehan IP di atas 3 selama dua semester pertama. Meski kurang memuaskan bagi mayoritas teman, bagi saya itu sudah cukup sehingga saya merasa mampu menyelesaikan kuliah matematika ini dengan IPK cukup baik serta lulus tepat waktu. Tampaknya, memang, saya lupa obrolan dalam batin yang setahun sebelumnya terlontar beberapa saat setelah membuka pengumuman SNMPTN tulis. Pada pertengahan semester dua, saya bertekad untuk melanjutkan kuliah ini sampai lulus tanpa coba-coba lagi mimpi-mimpi saya yang dulu.

Saya bukan anak yang pandai bergaul. Saya tidak suka menyapa siapapun kalau memang tidak ada kepentingan mendesak, apalagi menyapa orang yang tidak pernah saya kenal sama sekali. Alhasil, pada awal semester satu saya hanya berhasil mendapati satu teman sekelas yang bisa diajak berbincang agak panjang, Zarra Prameswari namanya. Begitupun sebaliknya. Karena Zarra adalah anak rumahan dan saya anak kosan, ada momen-momen tertentu yang mengharuskan saya berinteraksi dengan teman sekelas yang anak kosan juga. Kemudian bertemanlah saya dengan sekelompok anak kosan di kelas saya: Bintang, Agung, Pram, Ramadhan, dan Asep. Kendala lainnya, saya juga sulit berteman akrab dengan anak perempuan sehingga saya lebih sering nongkrong bareng anak-anak laki-laki itu.

Pertengahan semester satu, teman nongkrong, gaya belajar, dan kegiatan yang seru merupakan akar euforia yang terbentuk di pertengahan semester dua. Justru karena belajar bersama mereka lah saya berhasil mendapat IP semester satu di atas 3. Meski agak berkurang, “ritual” belajar bareng itu masih berlanjut di semester dua.

Saya pikir, “ritual” itu bisa terus dijalankan meski tidak intensif. Ternyata perkiraan saya meleset jauh. Sungguh manusiawi ketika kita semua punya kesibukan masing-masing dan kesibukan itu bisa dikatakan padat sekali. Itulah yang terjadi pada saya dan mereka. Di akhir semester dua, semua terasa berat. Saya tidak lagi punya teman nongkrong, tidak ada lagi tempat bertanya sepulang kuliah, juga tidak ada lagi “ritual” sebelum UTS/UAS.

Tekad saya saat semester satu mulai goyah dan kembali ingin mengejar mimpi-mimpi yang berkali-kali saya batalkan untuk saya raih. Tidak ada waktu lagi belajar untuk SNMPTN yang tinggal beberapa hari lagi. Modal nekat, saya bersama beberapa teman sekelas tetap adu peruntungan di SBMPTN 2013. Kali ini saya coba banting stir total, hanya ikut ujian IPS. Hasilnya? Jelas tidak lulus.

Saya kembali melanjutkan kuliah di Program Studi Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Kesibukan saya dan teman-teman nongkrong saya semakin padat setelah kami memutuskan untuk bersukarela menjadi pengurus BEM Himatika ‘Identika’ UPI 2013 dan selalu menjadi panitia di berbagai kegiatan himpunan. Kuliah terasa semakin berat sehingga keinginan saya untuk pindah pun semakin kuat. Banyak teman-teman saya yang berasal dari jurusan IPA berhasil lulus SBMPTN 2013 di jurusan-jurusan IPS. Kelulusan mereka memacu saya untuk kembali mencoba di tahun 2014 dan kali ini saya tidak ingin gagal lagi. Akhir 2013, saya mulai mencoba belajar mata pelajaran IPS dan sedikit mengabaikan kuliah.

Seperti minat saya dua tahun silam, saya ingin kuliah psikologi. Saya selalu suka menganalisis individu dan ingin sekali menemukan teori-teori baru untuk dipakai di bidang psikologi. Karena persaingan memilih psikologi itu sangat ketat, berdasarkan tujuan tersebut, alternatifnya, saya memilih ilmu filsafat di pilihan kedua. Maksud saya, kalaupun saya tidak bisa menemukan teori sebagai sarjana psikologi, saya tetap bisa menjadi penemu teori berdasarkan ilmu pikir yang sesuai sehingga teori yang saya temukan kelak tetap dipercaya dan digunakan di lapangan sebagai sarjana ilmu filsafat.

Sekarang tahun 2014, awal Agustus lalu saya melakukan registrasi ulang untuk mengesahkan diri sebagai mahasiswa UI. Daripada saya harus kuliah matematika selama tujuh tahun dan tidak mengerti apa-apa, lebih baik saya putuskan mengulang semuanya dari awal di sini dan paham tentang semua yang saya pelajari. Saya akan menjadi penemu teori. (FR)

No comments:

Post a Comment