Pages

6.5.19

Memori

Aku pengingat. Aku juga sentimental. 

Hampir setiap momen yang aku lalui di hidupku aku masih ingat. Mungkin karena aku terlalu menghargai setiap momen yang ada. Apapun rasanya: senang, sedih, kecewa, bangga, sakit, marah, dan lainnya. Setiap rasa punya level yang sama untukku. Aku tidak membatasi diri dengan hanya mengingat momen-momen menyenangkan saja, tapi aku mengingat semuanya. 

Aku pun ingat siapa saja orang yang terlibat. Aku ingat gambaran besar perkataan orang-orang itu. Aku ingat waktunya, aku ingat tempatnya. Aku ingat keadaannya. Dan tentunya, pastinya, aku betul-betul ingat bagaimana rasanya.

Setiap orang yang pernah terlibat di dalam hidupku, aku ingat, aku merasakan mereka. Tapi di saat yang sama aku bisa hentikan kesentimentalanku yang kadang terlalu agresif. Aku bisa dingin jika aku tidak ingin diperlakukan sentimental oleh mereka. Hanya saja, kamu pasti tahu, bukan berarti sikapku yang dingin berarti hatiku pun dingin. Aku bersikap dingin karena aku gampang lelah jika menerima emosi orang lain yang berlebihan. Terlebih jika aku tidak terlalu merasa nyaman dengan mereka.

Sayangnya, hampir selalu, aku merasa nyaman dengan orang yang kurang tepat. Baik teman maupun pasangan. Sering kali aku begitu emosional, aku begitu terbuka, aku begitu hangat,  aku begitu bergantung, aku begitu bersemangat mencurahkan semua energiku pada mereka. Aku senang berbicara, aku senang bercerita, aku senang berbincang. Terutama, aku senang memperhatikan. Aku menikmati setiap observasi yang aku lakukan terhadap setiap orang yang terlibat di hidupku. Aku senang mengenal dan mendalami mereka. Tetapi pada akhirnya aku sadar, itu tidak mutual. Kini aku diperlakukan dingin.

Yang lebih menyakitkan, sikap dingin itu karena memang aku tidak diingat. Atau karena memang aku tidak cukup spesial untuk diperhatikan...?


Depok,

6 Mei 2019

19.4.19

Hidden

Heavy, it is. To hold and to press things into the deepest part of your heart. For peace is an ideal. For arguments are evil.

What is it for to express? What is it for to tell? For no one will ever want to understand, or to listen, or even to stare deeply into your eyes and to try to absorb what's within the blinks.

Is this what they call life? Does life require communication? Is it silence?
We want silence and say "I don't wanna talk about it", but isn't that necessary to talk that we don't wanna talk about it?


For I shall make peace with my own head, keep it hidden. Let it forever be questioned. Keep it silent. Let it be forgotten.



Cileunyi,
19 April 2019


10.2.19

Menulis...?

Sudah jarang saya nulis di blog ini. Alasannya adalah; saya selama ini bikin batasan yang jelas antara menulis dan mengobrol. Bertahun-tahun terakhir ini saya selalu punya teman terdekat yang bisa di-clinging-on to untuk segala keluh kesah, random thoughts, cerita sepele--seperti "barusan aku lihat kucing gendut guling-guling di depan kelas", kekesalan, dsb. Hari ini saya sadar, mereka manusia... yang gak selalu bisa dengar 24/7 apapun omongan saya. Dan saya juga sadar... apa yang saya tertarik untuk ceritakan belum tentu menarik untuk mereka dengar. Hari ini juga saya memutuskan untuk mulai aktif lagi menulis. Karena tulisan itu bertahan lebih lama, dan teriakannya tak bersuara. Artinya ia tak mengganggu. Kalau tidak dibaca, ya tulisan pasti tetap diam.

Mungkin ini alasan mengapa saya sangat menghargai tulisan orang. Biasanya saya memperlakukan--dan membaca tulisan orang dengan sangat hati-hati. Apapun bentuknya; pesan singkat, cuitan di Twitter/Facebook/Instagram/dll., puisi, lirik lagu, dsb. Tulisan itu ucapan yang matang. Matang dalam artian lontarannya pasti sudah melalui berbagai macam pertimbangan, dan segala proses revisi. Maka memperlakukannya bukan perkara membaca sekilas dan mengerti, tetapi memahami dan mendalami makna.


Katanya menulis itu obat. Obat untuk rasa sepi. Mengapa obat? Karena kita sedang mengakui dan menerima bahwa setiap kita itu sendirian, dan kesepian.

Kita sang penulis merasa sedang membuat sekian skenario di dalam pikiran, dengan diri sendiri. Kita dibuat paham dengan apa yang kita sendiri pikirkan dan rasakan, agar bisa mengartikulasikannya lewat rangkaian kata-kata yang tersusun rapi. Kita dibuat ingat dengan apa yang kita pernah ingat di momen-momen yang kita anggap penting di dalam hidup kita.
Tak hanya itu, walaupun tak langsung, siapapun yang membaca dengan mendalam akan lebih memahami siapa kita. Dan itu yang membantu kita untuk merasa tidak kesepian lagi. Setiap kata itu merepresentasi siapa saya...

Mulai hari ini saya ingin mencoba menulis lagi. Saya ingin berteman akrab lagi dengan diri saya sendiri. Sesepele apapun cerita saya, mungkin pembaca yang membaca sudah menyeleksinya dan memutuskan tulisan saya menarik bagi dia, dibandingkan asal memaksa berbicara ke orang yang tidak menganggap topik saya menarik sama sekali.

Hai, yang membaca! Terima kasih sudah mencoba mengenal saya lebih dekat. :)

12.7.16

Student Exchange to Osaka University (1)

Hi! It's been a while after my last post. Banyak alasan berhenti nulis khusus untuk blog beberapa tahun terakhir; kurang wawasan, gak punya 24 jam internet, malas, dan yang paling utama...terdistraksi smartphone-dengan-apps-yang-(secara-sadar-diketahui)-tidak-penting-namun-tetap-digunakan. Sesungguhnya saya tergolong orang yang merugi.

Whatever it is, let us move on to the topic I am gonna be writing about today: INTERNATIONAL STUDENT EXCHANGE.

Mengapa saya menulis tentang ini? Karena saya ingin berbagi kisah kepada netizen mengenai pengalaman saya hingga mendapat kesempatan pertukaran mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke Osaka, Jepang. Tujuannya tergantung Teman-teman yang membaca; baik untuk sekadar mencari motivasi, maupun untuk mencari informasi teknis. Kendati setiap tahunnya prosedur atau teknis bisa berubah, tak dapat dipungkiri kisah tentang one hand experience itu sangat membantu (setidaknya) untuk gambaran umum tentang apa yang harus dilakukan.

Diterjemahkan secara harfiah, kita semua akan langsung paham bahwa student exchange itu adalah pertukaran pelajar, atau bisa juga disebut pertukaran mahasiswa untuk jenjang perguruan tinggi. Umumnya, pertukaran pelajar berada di bawah payung kerjasama antara satu universitas dan universitas lainnya, baik nasional maupun internasional. Pada tulisan ini akan difokuskan pada pertukaran mahasiswa internasional.

Umumnya pula, beberapa unversitas berkelas internasional mengadakan program-program yang dibuka khusus untuk pelajar-pelajar dari universitas mitra. Dalam kasus saya, Universitas Indonesia memiliki perjanjian kerjasama dengan Universitas Osaka yang dikoordinasi oleh Kantor Internasional (International Office/IO). Sehingga memungkinkan saya, sebagai mahasiswa Universitas Indonesia, untuk mendaftar program pertukaran mahasiswa OUSSEP (Osaka Unversity Short-term Student Exchange Program). Untuk berpartisipasi pada program ini, mahasiswa harus melalui beberapa tahap seleksi di antaranya: seleksi internal dan seleksi eksternal.

1.      Seleksi Internal
Seleksi ini diselenggarakan oleh Universitas asal supaya mereka yang menjadi delegasi memiliki kualitas terbaik. Di UI, pihak IO memberlakukan dua tahap seleksi.
a.      Seleksi dokumen
Seleksi ini sangat standar. Dokumen-dokumen yang diperlukan adalah transkrip akademik dengan IPK >3.50, TOEFL >550, CV, dan letter of motivation. Jika lolos, calon peserta akan dihubungi via email
b.      Interview
Interview umumnya dilakukan oleh tim khusus atau bahkan pimpinan IO sendiri. Jika beruntung (karena pimpinan sibuk dsb.), tahap interview akan dihilangkan dan calon peserta akan disortir berdasarkan dokumen terbaik.
2.      Seleksi Eksternal
Seleksi ini dilakukan oleh pihak universitas tujuan. Oleh karena itu persyaratan dan standar kelulusannya pasti akan berbeda-beda. Untuk OUSSEP 2016, Universitas Osaka mensyaratkan:
a.      Transkrip akademik
b.      Statement of purpose
c.      Career goal
d.      List of intended courses
e.      Reference letter

Umumnya (lagi), seleksi pertukaran mahasiswa internasional sudah sepaket dengan seleksi beasiswanya. Beasiswa itu biasanya ditujukan untuk memenuhi biaya hidup di luar negeri. Pada pertukaran mahasiswa ke Jepang, beasiswanya adalah Beasiswa JASSO (Japan Student Services Organization) dengan besaran 80,000 Yen/bulan.

Kendala pada student exchange ke Jepang ini adalah bahwa JASSO baru akan memberikan uang beasiswa satu bulan setelah kedatangan saya di Jepang. Akibatnya, saya harus menanggung sendiri biaya hidup selama satu bulan pertama, yang berkisar kurang lebih Rp10,000,000—15,000,000. Tak hanya itu, JASSO juga tidak mencover biaya perjalanan (tiket pesawat) pulang-pergi yang besarannya sekitar Rp5,000,000—10,000,000/tiket. Oleh karena itulah saya sedang berusaha mencari tambahan dana dari UI, Kemristekdikti, dan perusahaan-perusahaan swasta. Perjalanan saya mencari tambahan dana sangat panjang, hingga sekarang saya masih menunggu keputusan dari universitas dan Kemristekdikti, juga masih baru akan mengirimkan proposal ke perusahaan-perusahaan swasta. Semoga penantian saya berbuah manis! J

10.8.14

Euforia

Euforia seringkali menipu. Terlebih bagi saya yang masih remaja. Bisa dibilang saya telah gagal di tempat yang pada tahun 2012 lalu saya pilih. Lebih tepatnya mungkin bukan gagal (karena rasanya seperti menuding Tuhan menggagalkan saya), tapi saya sendiri yang mengklaim saya akan gagal di tempat ini sehingga kemudian saya memutuskan untuk keluar, dan pindah.

Berawal dari ketidaktahuan dan ketidakpercayaan diri, saya memilih kuliah di jurusan matematika karena merasa diunggulkan di bidang matematika semasa SMP dan SMA. Mengapa tidak jurusan bahasa Inggris? Karena saya “anak” IPA dan kurang percaya diri untuk banting stir belajar IPS. Kesimpulannya, saya cari aman saja.

Tahun 2012, saya lulus di pilihan kedua yaitu Jurusan Pendidikan Matematika UPI lewat jalur SNMPTN tulis. Setidaknya saya bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang (katanya) biayanya jauh lebih murah daripada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). “Tak apalah, terima dulu saja, masih ada tahun depan kalau masih penasaran dengan pilihan pertama atau bahkan mau coba-coba banting stir” saya pikir.

Setahun berjalan di sini, saya merasa cukup percaya diri mengingat status “siswa unggulan matematika selama SMP dan SMA” dan perolehan IP di atas 3 selama dua semester pertama. Meski kurang memuaskan bagi mayoritas teman, bagi saya itu sudah cukup sehingga saya merasa mampu menyelesaikan kuliah matematika ini dengan IPK cukup baik serta lulus tepat waktu. Tampaknya, memang, saya lupa obrolan dalam batin yang setahun sebelumnya terlontar beberapa saat setelah membuka pengumuman SNMPTN tulis. Pada pertengahan semester dua, saya bertekad untuk melanjutkan kuliah ini sampai lulus tanpa coba-coba lagi mimpi-mimpi saya yang dulu.

Saya bukan anak yang pandai bergaul. Saya tidak suka menyapa siapapun kalau memang tidak ada kepentingan mendesak, apalagi menyapa orang yang tidak pernah saya kenal sama sekali. Alhasil, pada awal semester satu saya hanya berhasil mendapati satu teman sekelas yang bisa diajak berbincang agak panjang, Zarra Prameswari namanya. Begitupun sebaliknya. Karena Zarra adalah anak rumahan dan saya anak kosan, ada momen-momen tertentu yang mengharuskan saya berinteraksi dengan teman sekelas yang anak kosan juga. Kemudian bertemanlah saya dengan sekelompok anak kosan di kelas saya: Bintang, Agung, Pram, Ramadhan, dan Asep. Kendala lainnya, saya juga sulit berteman akrab dengan anak perempuan sehingga saya lebih sering nongkrong bareng anak-anak laki-laki itu.

Pertengahan semester satu, teman nongkrong, gaya belajar, dan kegiatan yang seru merupakan akar euforia yang terbentuk di pertengahan semester dua. Justru karena belajar bersama mereka lah saya berhasil mendapat IP semester satu di atas 3. Meski agak berkurang, “ritual” belajar bareng itu masih berlanjut di semester dua.

Saya pikir, “ritual” itu bisa terus dijalankan meski tidak intensif. Ternyata perkiraan saya meleset jauh. Sungguh manusiawi ketika kita semua punya kesibukan masing-masing dan kesibukan itu bisa dikatakan padat sekali. Itulah yang terjadi pada saya dan mereka. Di akhir semester dua, semua terasa berat. Saya tidak lagi punya teman nongkrong, tidak ada lagi tempat bertanya sepulang kuliah, juga tidak ada lagi “ritual” sebelum UTS/UAS.

Tekad saya saat semester satu mulai goyah dan kembali ingin mengejar mimpi-mimpi yang berkali-kali saya batalkan untuk saya raih. Tidak ada waktu lagi belajar untuk SNMPTN yang tinggal beberapa hari lagi. Modal nekat, saya bersama beberapa teman sekelas tetap adu peruntungan di SBMPTN 2013. Kali ini saya coba banting stir total, hanya ikut ujian IPS. Hasilnya? Jelas tidak lulus.

Saya kembali melanjutkan kuliah di Program Studi Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Kesibukan saya dan teman-teman nongkrong saya semakin padat setelah kami memutuskan untuk bersukarela menjadi pengurus BEM Himatika ‘Identika’ UPI 2013 dan selalu menjadi panitia di berbagai kegiatan himpunan. Kuliah terasa semakin berat sehingga keinginan saya untuk pindah pun semakin kuat. Banyak teman-teman saya yang berasal dari jurusan IPA berhasil lulus SBMPTN 2013 di jurusan-jurusan IPS. Kelulusan mereka memacu saya untuk kembali mencoba di tahun 2014 dan kali ini saya tidak ingin gagal lagi. Akhir 2013, saya mulai mencoba belajar mata pelajaran IPS dan sedikit mengabaikan kuliah.

Seperti minat saya dua tahun silam, saya ingin kuliah psikologi. Saya selalu suka menganalisis individu dan ingin sekali menemukan teori-teori baru untuk dipakai di bidang psikologi. Karena persaingan memilih psikologi itu sangat ketat, berdasarkan tujuan tersebut, alternatifnya, saya memilih ilmu filsafat di pilihan kedua. Maksud saya, kalaupun saya tidak bisa menemukan teori sebagai sarjana psikologi, saya tetap bisa menjadi penemu teori berdasarkan ilmu pikir yang sesuai sehingga teori yang saya temukan kelak tetap dipercaya dan digunakan di lapangan sebagai sarjana ilmu filsafat.

Sekarang tahun 2014, awal Agustus lalu saya melakukan registrasi ulang untuk mengesahkan diri sebagai mahasiswa UI. Daripada saya harus kuliah matematika selama tujuh tahun dan tidak mengerti apa-apa, lebih baik saya putuskan mengulang semuanya dari awal di sini dan paham tentang semua yang saya pelajari. Saya akan menjadi penemu teori. (FR)

20.2.14

Totalitas Analisis Kehidupan

                Hai. Butuh basa-basi dulu dikit ya udah lama sekali aku ga nulis, apalagi tentang teorema kehidupan haha. Kali ini bermaksud untuk bahas tentang totalitas dalam kepo-mengkepo. What is what’s always said “kepo” anyway? Kepo itu sebenernya merupakan singkatan kata bahasa Inggris, jadi harusnya ditulis dengan huruf besar semua: KEPO adalah Knowing Every Particular Object. Karena akan dibahas lebih lanjut, sekarang, asusmsikan KEPO sudah diadaptasi secara resmi ke dalam bahasa Indonesia sedemikian sehingga KEPO ga perlu lagi ditulis dengan huruf kapital dan ga perlu digarismiringin lagi.

Well, selama ini aku menganggap definisi kepo itu adalah suatu kegiatan menganalisis keadaan seseorang dengan cara mencari informasi tentang orang yang bersangkutan dari objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung itu ya informasi langsung dari orang yang lagi dikepo, baik dengan cara wawancara langsung ataupun dengan cara mengumpulkan data dari akun-akun jejaring sosialnya, barang-barang pribadinya, dan dari sejarahnya. Objek tidak langsung itu invers dari objek langsung; mungkin bisa dari objek-objek di lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Dengan definisi seperti ini, kepo jadi tampak ilmiah bukan? Hahaha.

Menentang persepsi mayoritas orang, aku ga pernah mikir bahwa kepo itu merupakan suatu bentuk kepedulian karena ada rasa “cinta” di dalamnya. Wah, cinta yang gimana dulu nih? Bukannya sesama manusia memang sudah kodratnya untuk saling mencintai? Ya. Bagiku, dengan melakukan kegiatan kepo ini aku jadi lebih menghargai dan mentolerir karakter dan tingkah laku orang. Ya toh? As humanbeing kita ga boleh dong asal menilai (judge) perilaku orang secara sepihak tanpa menganalisis sebab-sebabnya. Itu merupakan salah satu bentuk mencintai sesama manusia kan? So, menganalisis kehidupan orang lain itu sedikitnya perlu, Guys. Apalagi orang yang kita kenal, or at least mungkin ga kenal tapi tau siapa orangnya.

Berdasarkan sejarah dan teorema-teorema yang aku buat dari sejarah tersebut, aku jadi ga suka lagi terlalu ikut campur langsung dalam masalah orang. Makanya sekarang ketika rasa-rasa penasaran akan masalah orang lain mulai muncul, biasanya ngepo dari objek langsung, tapi ga nanya langsung. Well, sekarang jejaring sosial ruang lingkupnya udah terlalu luas loh, yang di-share pun bukan lagi hal-hal umum tapi hal-hal khusus, bahkan hal-hal khusus yang sifatnya pribadi. Bisa toh dengan nyalain laptop doang terus dapet informasi rinci tentang hal yang sedang dipenasaranin? Iya lah.

Eiiitts! Setelah dapet info pun masih belum bisa kelewat seneng dulu. Inget loh inget, jangan asal langsung mengambil kesimpulan secara sepihak mengenai hal yang menjadi hipotesis awal. Hipotesis itu harus diuji. Diujinya dengan apa? Dengan data atau informasi yang didapat. Setelah itu uji keberartian informasi-informasi tersebut. Informasi-informasi yang didapat itu belum tentu bernilai benar dan belum tentu berarti. Harus dianalisis! Terus gimana cara tau informasi yang didapat itu berarti atau ngga? Hmmm semakin sering ngepo orang, intuisi kita untuk tau keberartian suatu info jadi menajam kok haha. Hint-nya ya harus sering latihan kepo aja sih.

Secara tidak langsung, kita bisa jadi psikolog yang baik untuk teman-teman kita, untuk orang-orang yang kita kenal, untuk siapapun yang bahkan ga kita kenal. Dengan kepo kita bisa lebih menghargai, memaklumi, dan memahami sebab-sebab tingkah laku orang. Ga perlu sulit-sulit, Guys. Pola pikir analisis dan uji hipotesis dalam matematika itu bener-bener berguna untuk kehidupan sehari-hari. Selamat mencoba menganalisis ya! :-)

22.3.13

"Langit kian gelap untuk bocah kecil yang harus pulang"


Harusnya hari ini ada kelas, Kalkulus II, pukul 13:00 WIB. Sekarang pukul 15:59 WIB, sulit memilih antara mengorbankan siklus recharge baterai laptop, melanjutkan unduhan yang sudah 69%, atau udara kostan yang (sudah pasti) lebih hangat. Akhirnya aku memilih untuk tidak mengorbankan siklus recharge baterai Vayoku, mulai mengenakan jaket ringan yang tipis, sembari menunggu bar-bar putih icon WiFi di taskbar kalau-kalau tiba-tiba simbol tanda serunya hilang. Sejak diceritakan  tentang siklus recharge baterai, aku (hampir) tidak pernah lagi memasang baterai ketika menggunakan laptop di kostan atau di rumah. Aku juga tidak pernah mau melepas charger sebelum baterai terisi penuh. Agak berlebihan memang, tapi ya… daripada usia bateraiku berkurang.

Brrr. Dingin ya. Duh, jadi teringat perbincangan di tukang bubur Sabtu pagi kemarin bersama Lydia. “Lyd, jalan ke IP dari sini jauh ga?”
Ngga kok, kagok kalo naik angkot mah.”
Tiba-tiba Oca bersuara, “udah mending ngangkot aja, Fath. Jauh.”
“Jangan Pat, deket ih kagok ngangkot mah.”
Spontan aku berbisik sambil terkikik, “iya lah kalo jalan sendiri kerasa jauhnya.”

Kurang lebih tidak jauh beda dengan kondisi sekarang. Baterai baru terisi 32% sementara Vayoku tidak terhubung dengan sinyal WiFi yang (padahal) sumbernya berjarak hanya 2,5 meter di sebelah kananku, membuat video yang sedang “tanggung” kuunduh tadi gagal unduh. Sial. Seharusnya sebelum memasang charger kucoba dulu apakah Vayoku bisa terhubung dengan lancar, atau malah tidak. Pada kenyataannya tidak. Wacana yang sedang kuketik ini berkesimpulan bahwa aku terlanjur terkurung di tiga kondisi yang tidak enak: siklus baterai, unduhan yang gagal, dan udara yang dingin.

Kisah ini tidak berbobot. Seharusnya sejak dapat pemberitahuan bahwa tak ada kuliah siang ini, aku langsung pulang. Tapi hey, kurasa Kau sudah sadar betapa uniknya kelasku; lebih tepatnya, betapa uniknya teman-teman sekelasku. Hampir semua dosen dan kakak tingkat yang sudah mengenal kami berkomentar sama. “kelas ini ngga kayak kelasnya anak matematika ya. Biasanya anak-anak matematika kan serius.” Semua yang mengatakan itu, dengan percaya diri aku simpulkan, menikmati suasana yang kami bawa. Itulah sebab mengapa aku urung niat untuk pulang tadi siang. Tadi kami bermain tebak lagu dengan gambar. Kreatif.

16:33. Lihat! Ada kemajuan. Simbol tanda serunya sudah hilang. Ah tidak, simbolnya muncul lagi, 16:34. Bagus! 16:35 koneksi berjalan lancar di saat baterai 47% terisi.

16:40. Maaf tadi aku tiba-tiba meninggalkan worksheet ini selama 4 menit. Mengambil kesempatan mumpung masih ada orang lain yang duduk di sini selain aku. Perempuan berkerudung merah mudah cerah, entah siapa. Tadi kutitipkan saja semua barang bawaanku padanya sementara aku berlari ke kamar kecil. 16:43, dia pergi, terima kasih.

Aku menyerah. Kututup jendela YouTube Downloader yang pada hakikatnya sedang mengunduh tiga video: 2 video pertandingan Simon, 1 video pertandingan Taufik Hidayat. Mungkin aku akan masih di sini sampai pukul 17:40 nanti. Tidak ada Zarra, tidak ada Bintang, tidak ada anak-anakku yang pongo. Ruang ini sudah mulai gelap, orang yang berlalu-lalang berkurang secara signifikan jika kaubandingkan dengan suasana pukul 15:59 tadi.

Sekarang tepat pukul 17:00 dan sudah 64% bateraiku terisi. Aku ingin pulang. Sudahlah biarkan aku menunggu sampai baterai terisi setidaknya 70%, syukur-syukur kalau bisa lebih. Untungnya hujan turun lagi, lumayan deras. Setidaknya orang-orang yang berlalu-lalang tidak akan terlalu beranggapan buruk.

Ah, akhirnya ada dua orang datang, duduk di tempat ini.  17:15, 74%. Aku akan menunggu sampai mereka beranjak dari sini.

Langit kian gelap untuk bocah kecil yang harus pulang berjalan kaki
apalagi dengan hujan keras menemani
sandalku aus, Ibu,
jalan menarikku tergelincir, kemudian
(fr, 17:25, JICA)

17:31. Orang-orang yang 16 menit lalu baru saja duduk masih belum beranjak. Waktuku tinggal 9 menit lagi sebelum tepat pukul 17:40. Kali ini sudah waktunya aku untuk menyerah total. Benar-benar harus menyerah meski baterai belum 100% terisi. Baterai yang selama kurang lebih 1,5 jam kuhubungkan dengan sumber listrik ini akan kusimpan untuk dipakai besok sore saat menyampaikan laporan pertanggung jawaban MUMAS. Bukan berarti nanti malam aku tidak akan mengerjakan tugas praktikum statistika dasar, bukan. Nanti malam Vayoku akan bertugas tanpa baterai, langsung terhubung dengan sumber listrik, menge-run program SPSS.

17:39, 91%. Targetku terlampaui. Aku pulang.



Sumber WiFi Lt.1 FPMIPA UPI, 19 Maret 2013
Fathia Ramadina

7.8.12

Universitas...........

Salutation!
       Kali ini aku mau cerita tentang Perguruan Tinggi Negri atau biasa disingkat PTN. Lebih tepatnya cerita pengalaman pribadi sih gapapa ya hehe. ;-)
       Akibat gagal lolos jalur SNMPTN Undangan, dengan terpaksa aku harus ikut jalur SNMPTN Tertulis. Sesuai pilihan-pilihan sebelumnya, pilihan pertama tetep FMIPA ITB lah pastinya (ga jauh-jauh hahahahaha). Tapi karena ini kesempatan terakhir lewat jalur uji kemampuan akademis yang bisa bebas milih PTN di manapun (mentok-mentokan lah istilahnya emmmm) ya mau ga mau pilihan kedua harus milih yang jauh lebih rendah dari pilihan pertama *walaupun gasuka ;'-( intinya yang penting lolos PTN gitudeh tapi tetep ada strateginya loh yaaa. Pilihan keduaku waktu itu Matematika UPI. Kenapa?!!! Strateginya gini sebenernya, kalo tahun ini gagal ITB (ternyata emg gagal booo! :(), tahun depan aku bisa ikutan SNMPTN tulis lagi dengan kemampuan di atas peserta tahun-tahun berikutnya yang mayoritas pastinya siswa-siswa SMA dooong, sementara aku udah belajar matematika + IPA yang setingkat lebih tinggi derajatnya daripada pelajaran SMA selama setahun di UPI.
       Nervous parah sejam sebelum pengumuman. Rasanya kayak pengen bolak-balik ke warung beli TING-TING :b Sempet lemes waktu ngeliat papan pengumuman ini di layar laptop.
Alhamdulillah at least fathi lolos PTN, makasih Allah

Tapi tapi tapi tapi TAPI!!! Tiba-tiba jadi galau gitu. Jadi ragu buat move on ke ITB tahun depan. :-( Aku sempet bengong lama mikirin kuliah setelah pengumuman SNMPTN itu. Dipikir-pikir, kenapa aku bisa tertarik sama ITB yang semua jurusannya ga aku suka kecuali matematika? Ya EAlah  wajar gua ga suka, semuanya perteknikan, Bung! Kalaupun bukan perteknikan, gambar-gambaran sama bisnis-bisnisan. Jelas bukan passion aku banget. Sempet rendah diri juga sih hehe maaf lebay ya tapi tapi tapi emang iya kok. ;’-(

Di saat itulah hatiku turut bicara #eeeaa.
Kenapa kamu ga ikutin passion kamu dari awal, Fath? Kamu kenal diri kamu kok.
AAAAAA seneng deh seneng banget dikasih nasehat waktu lagi galau gitu walaupun aku juga gatau bahwa ternyata selama ini aku masih punya hati cadangan yang mendadak berfungsi pas organ apapun yang aku punya ga bisa diandalkan lagi. Makasih ya Hati <333 aku jadi langsung flashback ke tiga tahun yang lalu. Sejak lulus SMP, aku emang udah tertarik sama yang namanya ilmu psikologi. Pasti ada alesannya dong ya...HAHAHHAHAHA. Dari SMP aku emang udah sering dapet masalah yang unpredictable banget. Berat. Pokonya ga pantes deh buat anak umur sekecil fathi waktu itu :-( gangerti juga ya itu karena apa. Padahal sikap aku di sekolah selalu wajar-wajar aja. Entah kenapa suka (bahkan selalu) dilibatkan dalam masalah besar yang akunya sendiri gatau itu apa. Untungnya aku punya orangtua aku yang selalu dukung aku {}{}{} makanya di situ orangtua aku juga yang ngajarin aku banyak hal, terutama tentang yang namanya MANUSIA.
Skip deh ya. Aku mulai mikirin aku mau jadi apa itu pas kelas 11. Dan....mulai dari orang tua, temen sebangku, dan wali kelas, semuanya ngasih saran buat masuk Universitas Indonesia jurusan Kedokteran. HAHAHAHAH lapur :-( udah tau IPA aku cacad bungudh hmmm. Akhirnya kepikiran buat psikologi deh. Fix. Dan selama 1,5 tahun terakhir aku belajar di sekolah, aku berjuangnya buat UI. Pengen UI pokonya. Pengen UI! PENGEN UI!!! Pengen UI! :’-)

Kelas 12. Pas mau daftar PPKB UI, mendadak labil dong! Dafuq. ;-( Tauga? Dalem pikiran aku nih:
Ngapaen lo milih UI, Fath? Lo tau kali, panas, polusi di mana-mana, bikin keringetan, tempatnya kaya ee. Lo masih mau? Gua sih ogah. Bandung lebih enak buat belajar kali. Apalagi ITB.
Ini gada sangkut pautnya sama Pak Iqbal loh ya!!!  Dan di situlah aku ngubah pilihan, ngubah semua planning aku untuk 4 tahun ke depan. Rencana mendadak; aku mau ngambil Psikologi UI untuk S2 aja soalnya aku masih gagap untuk jawab soal-soal IPS.
         Yep, nyatanya UI GAGAL ITB GAGAL. Aku sendiri yang buat gagal. Jadi, aku sendiri yang harus tanggung resiko. Ya mungkin, Allah masih baik banget sama aku. Masih mau ngasih aku kesempatan selama 1 tahun untuk belajar pelajaran IPS yang buku-bukunya belum pernah terjamah sama sekali. Allah tau siapa aku. Allah lagi nyiapin aku untuk lebih mantep tinggal di kota yang keras itu tahun depan. Sendiri.


Sekian.
FR